Belitung merupakan kepulauan yang mengalami beberapa pemerintahan
raja-raja. Pada akhir abad ke-7, Belitung tercatat sebagai wilayah
Kerajaan Sriwijaya, kemudian ketika Kerajaan Majapahit mulai berjaya
pada tahun 1365, pulau ini menjadi salah satu benteng pertahanan laut
kerajaan tersebut. Baru pada abad ke-15, Belitung mendapat hak-hak
pemerintahannya. Tetapi itupun tidak lama, karena ketika Palembang
diperintah oleh Cakradiningrat II, pulau ini segera menjadi taklukan
Palembang.
Sejak abad ke-15 di Belitung telah berdiri sebuah kerajaan yaitu
Kerajaan Badau dengan Datuk Mayang Geresik sebagai raja pertama. Pusat
pemerintahannya disekitar daerah Pelulusan sekarang ini. Wilayah
kekuasaaannya meliputi daerah Badau, Ibul, Bange, Bentaian, Simpang
Tiga, bahkan jauh sampai ke daerah Buding, Manggar dan Gantung. Beberapa
peninggalan sejarah yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Badau, berupa
tombak berlok 13, keris, pedang, gong, kelinang, dan garu rasul.
Peninggalan-peninggalan tersebut dapat ditemui dilihat di Museum Badau.
Kerajaan kedua adalah Kerajaan Balok. Raja pertamanya berasal dari
keturunan bangsawaan Jawa dari Kerajaan Mataram Islam bernama Kiai Agus
Masud atau Kiai Agus Gedeh Ja'kub, yang bergelar Depati Cakraningrat I
dan memerintah dari tahun 1618-1661. Selanjutnya pemerintahan dijalankan
oleh Kiai Agus Mending atau Depati Cakraningrat II (1661-1696), yang
memindahkan pusat kerajaan dari Balok Lama ke suatu daerah yang kemudian
dikenal dengan nama Balok Baru. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh
Kiai Agus Gending yang bergelar Depati Cakraningrat III.
Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat III ini, Belitung dibagi menjadi 4 Ngabehi, yaitu :
1. Ngabehi Badau dengan gelar Ngabehi Tanah Juda atau Singa Juda;
2. Ngabehi Sijuk dengan gelar Ngabehi Mangsa Juda atau Krama Juda;
3. Ngabehi Buding dengan gelar Ngabehi Istana Juda.
Masing-masing Ngabehi ini pada akhirnya menurunkan raja-raja yang
seterusnya lepas dari Kerajaan Balok. Pada tahun 1700 Depati
Cakraningrat III wafat lalu digantikan oleh Kiai Agus Bustam (Depati
Cakraningrat IV). Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IV ini,
agama Islam mulai tersebar di Pulau Belitung.
Gelar Depati Cakraningrat hanya dipakai sampai dengan raja Balok yang
ke-9, yaitu Kiai Agus Mohammad Saleh (bergelar Depati Cakraningrat IX),
karena pada tahun 1873 gelar tersebut dihapus oleh Pemerintah Belanda.
Keturunan raja Balok selanjutnya yaitu Kiai Agus Endek (memerintah
1879-1890) berpangkat sebagai Kepala Distrik Belitung dan berkedudukan
di Tanjungpandan.
Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Belantu, yang merupakan bagian wilayah
Ngabehi Kerajaan Balok. Rajanya yang pertama adalah Datuk Ahmad
(1705-1741), yang bergelar Datuk Mempawah. Sedangkan rajanya yang
terakhir bernama KA. Umar.
Kerajaan keempat atau yang terakhir yang pernah berdiri adalah Kerajaan
Buding, yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Balok. Rajanya
bernama Datuk Kemiring Wali Raib. Dari keempat kerajaan yang telah
disebutkan diatas, Kerajaan Balok merupakan kerajaan terbesar yang
pernah ada di Pulau Belitung.
Masa pendudukan Belanda-Jepang
Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan merupakan
tempat persinggahan kaum pedagang. Dari sekian banyak pedagang, yang
paling berpengaruh adalah pedagangn Cina dan Arab. Hal ini dapat
dibuktikan dari tembikar-tembikar yang berasal dari Wangsa Ming abad
ke-14 hingga ke-17, yang banyak ditemukan dalam lapisan-lapisan tambang
timah di daerah Kepenai, Buding dan Kelapa Kampit. Pedagang-pedagang
Cina tersebut masuk ke Pulau Belitung kira-kira tahun 1293. Hal ini
berdasarkan catatan dari seorang sejarawan Cina bernama Fei Hsin tahun
1436. Sedangkan orang Cina mengenal Belitung disebabkan pada tahun 1293,
sebuah armada Cina dibawah pimpinan Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing
yang sedang mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan
Belitung.
Selain bangsa Cina, bangsa lain yang banyak mengenal Pulau Belitung
adalah bangsa Belanda. Pada tahun 1668, sebuah kapal Belanda bernama
'Zon De Zan Loper', dibawah pimpinan Jan De Marde, tiba di Belitung.
Mereka merapat di sungai Balok, yang saat itu merupakan satu-satunya
bandar di Pulau Belitung yang ramai dikunjungi pedagang asing
Berdasarkan penyerahan Tuntang pada tanggal 18 September 1821, Pulau
Belitung masuk dalam wilayah kekuasaan Inggris (meskipun secara de facto
terjadi pada tanggal 20 Mei 1812). Oleh Residen Inggris di Bangka,
diangkat seorang raja siak untuk memerintah Belitung, karena di pulau
kecil ini sering terjadi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh tetua
adat. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kerajaan
Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung kepada
Kerajaan Belanda. Selanjutnya atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk
seorang Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau
Belitung.
Pada tahun 1823, seorang Kapten berkebangsaan Belgia bernama JP. De La
Motte, yang menjabat sebagai Asisten Residen dan juga pimpinan tentara
Kerajaan Belanda, berhasil menemukan timah. Selanjutnya seusai Traktat
London tahun 1850, penambangannya diambil alih oleh Billiton
Maatschapij, sebuah perusahaan penambangan timah milik Pemerintah
Belanda di Belitung. Pada saat itu Belitung terbagi atas 6 daerah, yaitu
:
:: Tanjungpandan dan Gantung/Lenggang yang berada langsung dibawah pemerintahan Depati;
:: Badau, Sijuk, Buding dan Belantu yang berada dibawah pemerintahan masing-masing Ngabehi.
Pada tahun 1890, pangkat Ngabehi dihapus dan digantikan dengan Kepala
Distrik. Selanjutnya terdapat 5 distrik yaitu : Tanjungpandaan, Manggar,
Buding, Dendang dan Gantung.
Tahun 1852 Belitung dipisahkan dari Bangka dalam urusan administrasi
dan kewenangan penambangan timah. Pemisahan tersebut atas desakan JF.
Louden (kepala pemerintahan pusat di Batavia), untuk mencegah pengaruh
buruk dari Residen Bangka yang iri melihat pertambangan timah yang
berkembang dengan pesat di Belitung.
Dalam rangkaian sistem pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1921
Belitung dijadikan sebuah distrik yang dikepalai oleh seorang Demang
yaitu KA. Abdul Adjis, yang dibantu 2 orang Asisten Demang yang
membawahi 2 onder district, yaitu Belitung Barat dan Belitung Timur.
Gemeente atau kelurahan di Belitung dibentuk pada tahun 1921-1924.
Berdasarkan Ordonantie No. 73 tanggal 21 Februari 1924, ditetapkan
sebanyak 42 Gemeente di seluruh Belitung.
Pada tahun 1933, Belitung berubah status menjadi satu Onder-afdeling
yang diperintah oleh seorang Controleur dengan pangkat Assistant
Resident, yang bertanggung jawab kepada Residen dari Afdeling Bangka -
Belitung yang berkedudukan di Pulau Bangka.
Tanggal 1 Januari 1939 berlaku peraturan baru di wilayah di wilayah
Belitung, yang berarti Pulau Belitung sudah diberi hak untuk mengatur
daerahnya sendiri. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi beberapa
keadaan, misalnya Onder-afdeling Belitung meliputi 2 distrik yaitu,
Distrik Belitung Barat dan Distrik Belitung Timur, yang masing-masing
dikepalai oleh seorang Demang.
Tentara Jepang menduduki Pulau Belitung pada bulan April 1944,
pemerintahan dikedua distrik dikepalai oleh Gunco. Pada awal tahun1945
oleh Jepang di Belitung dibentuk Badan Kebaktian Rakyat yang bertugas
membantu pemerintahan. Masa pendudukan Jepang tidak lama, selanjutnya
perubahan kembali terjadi ketika tentara Belanda kembali menguasai
Belitung pada tahun 1946. Pada masa pemerintahan Belanda ini,
Onder-afdeling Belitung diperintah kembali oleh Asisten Residen Bangsa
Belanda, sedangkan penguasaan distrik tetap dipegang oleh seorang Demang
yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd.
Masa kemerdekaan
Pulau Belitung sebagai bagian dari Residensi Bangka - Belitung,
beberapa tahun lamanya pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo,
kemudian menjadi bagian Gewest Bangka - Belitung dan Riau. Tetapi hal
tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul peraturan yang mengubah
Pulau Belitung menjadi Neolanchap. Selanjutnya sebagai badan
pemerintahan dibentuklah Dewan Belitung pada tahun 1947. Pada waktu
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), Neolanchap Belitung
merupakan negara tersendiri, bahkan karena sesuatu hal tidak menjadi
negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan dari RIS dan digabungkan
dalam Republik Indonesia. Pulau Belitung menjadi sebuah kabupaten yang
termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan dibawah kekeuasaan militer,
karena pada waktu itu Sumatera Selatan merupakan Daerah Militer
Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan militer, Belitung kembali
menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati.
Masa sekarang
Pada tanggal 21 November 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2000, Pulau Belitung bersama dengan Pulau Bangka memekarkan diri dan
membentuk satu provinsi baru dengan nama Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Provinsi ini merupakan provinsi ke-31 di Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan aspirasi masyarakat dan setelah melalui
berbagai pertimbangan, Kabupaten Belitung memekarkan diri menjadi 2
kabupaten yaitu Kabupaten Belitung beribukota di Tanjungpandan dengan
cakupan wilayah meliputi 5 kecamatan dan Kabupaten Belitung Timur dengan
Manggar sebagai ibukotanya dengan cakupan wilayah meliputi 4 kecamatan.
Kontributor :
UPIK SUMARTI, SS
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung
mulai berjaya pada tahun 1365, pulau ini menjadi salah satu benteng pertahanan laut kerajaan tersebut. Baru pada abad ke-15, Belitung mendapat hak-hak pemerintahannya. Tetapi itupun tidak lama, karena ketika Palembang diperintah oleh Cakradiningrat II, pulau ini segera menjadi taklukan Palembang.
Sejak abad ke-15 di Belitung telah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Badau dengan Datuk Mayang Geresik sebagai raja pertama. Pusat pemerintahannya disekitar daerah Pelulusan sekarang ini. Wilayah kekuasaaannya meliputi daerah Badau, Ibul, Bange, Bentaian, Simpang Tiga, bahkan jauh sampai ke daerah Buding, Manggar dan Gantung. Beberapa peninggalan sejarah yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Badau, berupa tombak berlok 13, keris, pedang, gong, kelinang, dan garu rasul. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat ditemui dilihat di Museum Badau.
Kerajaan kedua adalah Kerajaan Balok. Raja pertamanya berasal dari keturunan bangsawaan Jawa dari Kerajaan Mataram Islam bernama Kiai Agus Masud atau Kiai Agus Gedeh Ja'kub, yang bergelar Depati Cakraningrat I dan memerintah dari tahun 1618-1661. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh Kiai Agus Mending atau Depati Cakraningrat II (1661-1696), yang memindahkan pusat kerajaan dari Balok Lama ke suatu daerah yang kemudian dikenal dengan nama Balok Baru. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Kiai Agus Gending yang bergelar Depati Cakraningrat III.
Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat III ini, Belitung dibagi menjadi 4 Ngabehi, yaitu :
1. Ngabehi Badau dengan gelar Ngabehi Tanah Juda atau Singa Juda;
2. Ngabehi Sijuk dengan gelar Ngabehi Mangsa Juda atau Krama Juda;
3. Ngabehi Buding dengan gelar Ngabehi Istana Juda.
Masing-masing Ngabehi ini pada akhirnya menurunkan raja-raja yang seterusnya lepas dari Kerajaan Balok. Pada tahun 1700 Depati Cakraningrat III wafat lalu digantikan oleh Kiai Agus Bustam (Depati Cakraningrat IV). Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IV ini, agama Islam mulai tersebar di Pulau Belitung.
Gelar Depati Cakraningrat hanya dipakai sampai dengan raja Balok yang ke-9, yaitu Kiai Agus Mohammad Saleh (bergelar Depati Cakraningrat IX), karena pada tahun 1873 gelar tersebut dihapus oleh Pemerintah Belanda. Keturunan raja Balok selanjutnya yaitu Kiai Agus Endek (memerintah 1879-1890) berpangkat sebagai Kepala Distrik Belitung dan berkedudukan di Tanjungpandan.
Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Belantu, yang merupakan bagian wilayah Ngabehi Kerajaan Balok. Rajanya yang pertama adalah Datuk Ahmad (1705-1741), yang bergelar Datuk Mempawah. Sedangkan rajanya yang terakhir bernama KA. Umar.
Kerajaan keempat atau yang terakhir yang pernah berdiri adalah Kerajaan Buding, yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Balok. Rajanya bernama Datuk Kemiring Wali Raib. Dari keempat kerajaan yang telah disebutkan diatas, Kerajaan Balok merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di Pulau Belitung.
Masa pendudukan Belanda-Jepang
Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan merupakan tempat persinggahan kaum pedagang. Dari sekian banyak pedagang, yang paling berpengaruh adalah pedagangn Cina dan Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari tembikar-tembikar yang berasal dari Wangsa Ming abad ke-14 hingga ke-17, yang banyak ditemukan dalam lapisan-lapisan tambang timah di daerah Kepenai, Buding dan Kelapa Kampit. Pedagang-pedagang Cina tersebut masuk ke Pulau Belitung kira-kira tahun 1293. Hal ini berdasarkan catatan dari seorang sejarawan Cina bernama Fei Hsin tahun 1436. Sedangkan orang Cina mengenal Belitung disebabkan pada tahun 1293, sebuah armada Cina dibawah pimpinan Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Selain bangsa Cina, bangsa lain yang banyak mengenal Pulau Belitung adalah bangsa Belanda. Pada tahun 1668, sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper', dibawah pimpinan Jan De Marde, tiba di Belitung. Mereka merapat di sungai Balok, yang saat itu merupakan satu-satunya bandar di Pulau Belitung yang ramai dikunjungi pedagang asing
Berdasarkan penyerahan Tuntang pada tanggal 18 September 1821, Pulau Belitung masuk dalam wilayah kekuasaan Inggris (meskipun secara de facto terjadi pada tanggal 20 Mei 1812). Oleh Residen Inggris di Bangka, diangkat seorang raja siak untuk memerintah Belitung, karena di pulau kecil ini sering terjadi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh tetua adat. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung kepada Kerajaan Belanda. Selanjutnya atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Belitung.
Pada tahun 1823, seorang Kapten berkebangsaan Belgia bernama JP. De La Motte, yang menjabat sebagai Asisten Residen dan juga pimpinan tentara Kerajaan Belanda, berhasil menemukan timah. Selanjutnya seusai Traktat London tahun 1850, penambangannya diambil alih oleh Billiton Maatschapij, sebuah perusahaan penambangan timah milik Pemerintah Belanda di Belitung. Pada saat itu Belitung terbagi atas 6 daerah, yaitu :
:: Tanjungpandan dan Gantung/Lenggang yang berada langsung dibawah pemerintahan Depati;
:: Badau, Sijuk, Buding dan Belantu yang berada dibawah pemerintahan masing-masing Ngabehi.
Pada tahun 1890, pangkat Ngabehi dihapus dan digantikan dengan Kepala Distrik. Selanjutnya terdapat 5 distrik yaitu : Tanjungpandaan, Manggar, Buding, Dendang dan Gantung.
Tahun 1852 Belitung dipisahkan dari Bangka dalam urusan administrasi dan kewenangan penambangan timah. Pemisahan tersebut atas desakan JF. Louden (kepala pemerintahan pusat di Batavia), untuk mencegah pengaruh buruk dari Residen Bangka yang iri melihat pertambangan timah yang berkembang dengan pesat di Belitung.
Dalam rangkaian sistem pemerintahan Hindia Belanda, pada tahun 1921 Belitung dijadikan sebuah distrik yang dikepalai oleh seorang Demang yaitu KA. Abdul Adjis, yang dibantu 2 orang Asisten Demang yang membawahi 2 onder district, yaitu Belitung Barat dan Belitung Timur. Gemeente atau kelurahan di Belitung dibentuk pada tahun 1921-1924. Berdasarkan Ordonantie No. 73 tanggal 21 Februari 1924, ditetapkan sebanyak 42 Gemeente di seluruh Belitung.
Pada tahun 1933, Belitung berubah status menjadi satu Onder-afdeling yang diperintah oleh seorang Controleur dengan pangkat Assistant Resident, yang bertanggung jawab kepada Residen dari Afdeling Bangka - Belitung yang berkedudukan di Pulau Bangka.
Tanggal 1 Januari 1939 berlaku peraturan baru di wilayah di wilayah Belitung, yang berarti Pulau Belitung sudah diberi hak untuk mengatur daerahnya sendiri. Tentu saja hal tersebut mempengaruhi beberapa keadaan, misalnya Onder-afdeling Belitung meliputi 2 distrik yaitu, Distrik Belitung Barat dan Distrik Belitung Timur, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang.
Tentara Jepang menduduki Pulau Belitung pada bulan April 1944, pemerintahan dikedua distrik dikepalai oleh Gunco. Pada awal tahun1945 oleh Jepang di Belitung dibentuk Badan Kebaktian Rakyat yang bertugas membantu pemerintahan. Masa pendudukan Jepang tidak lama, selanjutnya perubahan kembali terjadi ketika tentara Belanda kembali menguasai Belitung pada tahun 1946. Pada masa pemerintahan Belanda ini, Onder-afdeling Belitung diperintah kembali oleh Asisten Residen Bangsa Belanda, sedangkan penguasaan distrik tetap dipegang oleh seorang Demang yang kemudian diganti dengan sebutan Bestuurhoofd.
Masa kemerdekaan
Pulau Belitung sebagai bagian dari Residensi Bangka - Belitung, beberapa tahun lamanya pernah menjadi bagian dari Gewest Borneo, kemudian menjadi bagian Gewest Bangka - Belitung dan Riau. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul peraturan yang mengubah Pulau Belitung menjadi Neolanchap. Selanjutnya sebagai badan pemerintahan dibentuklah Dewan Belitung pada tahun 1947. Pada waktu pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), Neolanchap Belitung merupakan negara tersendiri, bahkan karena sesuatu hal tidak menjadi negara bagian. Tahun 1950 Belitung dipisahkan dari RIS dan digabungkan dalam Republik Indonesia. Pulau Belitung menjadi sebuah kabupaten yang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan dibawah kekeuasaan militer, karena pada waktu itu Sumatera Selatan merupakan Daerah Militer Istimewa. Sesudah berakhirnya pemerintahan militer, Belitung kembali menjadi kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati.
Masa sekarang
Pada tanggal 21 November 2000, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000, Pulau Belitung bersama dengan Pulau Bangka memekarkan diri dan membentuk satu provinsi baru dengan nama Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Provinsi ini merupakan provinsi ke-31 di Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan aspirasi masyarakat dan setelah melalui berbagai pertimbangan, Kabupaten Belitung memekarkan diri menjadi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Belitung beribukota di Tanjungpandan dengan cakupan wilayah meliputi 5 kecamatan dan Kabupaten Belitung Timur dengan Manggar sebagai ibukotanya dengan cakupan wilayah meliputi 4 kecamatan.
Kontributor :
UPIK SUMARTI, SS
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung