Kamis, 08 Mei 2014

Guratan Hikayat Bangka Dalam Kuliner Bercita Rasa


Saat ke Bangka, selain menanti kilau cahaya yang spektakuler di keheningan petang, Anda perlu jelajahi titik-titik kuliner bersejarah yang penuh sensasi di sana. Kerajaan Melayu, Minang, masyarakat Hakka dari Guangdong, keunikan bangunan Belanda yang menjadi restoran, hingga cerita bangsa pelaut akan menambah serunya berburu makanan dan kopi di Bangka.

Lempah Kuning - Indonesia Travel

Tersebutlah beberapa panganan yang patut dinikmati seperti lempah kuning (gangan di Belitung), mie koba, kemplang dan pempek bakar, martabak acau dan martabak pink kong, roti bakar tung tau, dan kue-kue warung kopi seperti otak-otak, kue wajit, talam ubi, bugis, olen-olen, singkulun, dan kue asin.
 Martabak Telur Bangka - Indonesia Travel

“Tempat pertama dalam menelusuri sejarah Bangka ialah Museum Timah. Di Pulau Belitung pun hadir Museum Belitung dan Rumah Tradisional yang menguak jejak sejarah dua pulau indah ini.”

Dari namanya, Bangka punya cerita sendiri. Asal kata Bangka terkuak dari beberapa versi, mulai dari kaitannya dengan timah hingga pulau pembuangan bangkai sampai cerita raksasa, beberapa orang bisa menceritakannya dengan menarik sambil menghirup kopi panas di salah satu kedai kopi yang tersebar di pulau ini. Pastinya, di Bangka ditemukan sebuah prasasti berbahasa Sansekerta dan bertuliskan huruf Pallawa, yaitu Prasasti Kota Kapur dimana di dalamnya tersebutlah kata VANKA, yang bermakna ‘timah’. Prasasti itu berangka tahun 686 M, itu ditemukan di Sungai Menduk, Bangka Barat.
 Mie Koba - Indonesia Travel
Dari kata itulah pulau yang berukuran sedikit lebih besar dari Bali ini disebut pulau timah, atau Pulau Bangka. Isi prasasti mengutip, penguasa Kerajaan Sriwijaya memerintahkan masyarakat Pulau Bangka untuk patuh pada kerajaan dan melarang mengadakan pemberontakan. Maknanya, saat itu Bangka sudah memiliki masyarakat yang beraktivitas dan berpotensi cukup kuat.

Tahun 1846 beredar sebuah majalah bernama Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, dimana dalam majalah itu tersebut Banca dan ditengarai sebagai Chinapata atau China-Batto. Kebesaran nama Banca berpengaruh luas hingga ke arah Barat pulau, dimana disebutkan daerah Bangka-Hulu yang sekarang kita kenal dengan Bengkulu.

Sejak dahulu, masyarakat di pulau ini sudah mahir menambang timah. Namun saat perniagaan semakin maju, penambangan timah memerlukan produksi yang lebih banyak. Dari perhubungan internasional saat itu, diketahui bahwa bangsa China dari Guangdong sudah sangat ahli dalam penambangan timah. Kerajaan Sriwijaya akhirnya mendatangkan para ahli dari China untuk menerapkan teknologi yang lebih tinggi itu di Pulau Bangka. Tak dapat dielakkan, pada awal abad ke-18, migrasi dari Guangdong pun terjadi. Suku Hakka tercatat sebagai mayoritas imigran yang terbanyak. Hingga hari ini, suku dan budaya Hakka yang paling dominan di Pulau Bangka.

Konsekuensi dari sejarah panjang itu membawa warna dan corak pada kebiasaan masyarakatnya mengolah makanan, termasuk minuman. Kentalnya pengaruh budaya China dari suku Hakka ini dapat kita rasakan dalam setiap gigitan kuliner di Bangka. Itu menjadi menarik dan beberapa warga dengan bangga menyandingkan pulau mereka dengan kulinernya, ketimbang alamnya yang banyak menguak ceruk berisi timah yang berlimpah.

Belanda, saat masuk Nusantara tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman sudah melirik Bangka dan Belitung yang saat itu dikuasai oleh Kesultanan Palembang. Pada masa pemerintahan Sultan Abdurrachman (1668), Belanda masuk ke Bangka untuk pertama kalinya dan diakui oleh Sultan Abdurrachman untuk menjalankan usaha penambangan timah secara monopolistis. Tahun 1722, pengelolaan penambangan monopolistis ini diambil alih oleh VOC.

Teori lain menyatakan bahwa sebelum bangsa China dan Belanda masuk, Pulau Bangka sudah dihuni oleh percampuran masyarakat pelaut dari Jawa, Palembang, Minangkabau, dan Bugis yang akhirnya berdomisili di pulau itu. Pengaruh kerajaan pun masuk dimana 2 kerajaan besar sangat terasa dampaknya pada tata cara dan kebiasaan masyarakat di Pulau Bangka. Kerajaan Johor dan Kerajaan Minang disebutkan sebagai kerajaan-kerajaan yang masuk untuk memberantas bajak laut yang tinggal di Bangka dan sering mengganggu pelayaran di sekitar Selat Malaka.

Kerajaan Johor memberikan pengaruh kuat di Bangka Barat, seperti di Mentok. Di daerah ini, bahasa masyarakatnya kental berlogat Melayu. Sedangkan di Bangka Selatan seperti di Toboali, Kerajaan Minang memberi pengaruh yang sama kuatnya dengan logat yang biasa digunakan di daerah Minang.

Dengan rangkaian sejarah itu, bisa dibayangkan begitu rumitnya percampuran kebiasaan dan cara masyarakatnya. Indahnya, makanan yang biasa dihidangkan bagi tamu menjadi begitu bercita rasa dan beragam macamnya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar